20170917

Kartini (2017) : "Membuat Malu"



Kebetulan di Surabaya (dan beberapa kota lainnya di Indonesia) sedang berlangsung KIFF atau 'Korea Indonesia Film Festival' 2017 yang dilaksanakan di bioskop-bioskop CGV. Yang menarik bagi saya yang pelit dan jarang ke bioskop ini adalah harga tiketnya yang cuma 10,000 rupiah. Tahun kemarin saya sampai maraton dua film: satu film produksi Korea Selatan dan satu film produksi Indonesia. Tahun ini kebetulan cuma bisa 1 film saja karena keterbatasan waktu (?).

Ceritanya di suatu Jumat siang yang panas yang lalu, kelar ngurus VISA buat next dream trip (?) Saya lagi males banget pulang, dan ketika scroll timeline twitter munculah se-se tweet soal KIFF ini. Sebenernya mungkin apapun filmnya saya pasti nonton karena emang males di rumah, tapi takdir mengkatakan saya harus nonton Kartini. 

Sebenernya saya agak merasa jahat sih, karena baru nonton kalo tiketnya cuma 10rebuan aja. Saya sangat suka sih film-film (semi) biografi gitu (rasanya pasti ada yang di dramatisasi kan yaa), tapi sempat ada pengalaman saya kecewa sama film Soekarno (2013)...yang rasanya terlalu jauh dari yang saya harapkan, dan terlalu drama. Kalo ada orang yang bilang film tersebut bikin nasionalis, maka saya akan lebih milih film Habibie dan Ainun (2012) sebagai film yang membuat saya sedikit lebih nasionalis. Yah di akhir saya baru tahu sih kalau sutradara film Kartini edisi 2017 ini sama dengan sutradara film Soekarno. Dan film ini...bener-bener bikin saya...malu.





Saya sempat kehilangan kurang lebih 10 menit pertama dari film tersebut, dan cukup penasaran pembukanya seperti apa. Tapi di 10 menit kemudian belum apa-apa saya sudah terharu, dan teruusss begitu sampai film selesai. Ntah apa, tapi seperti ada ikatan antara saya dengan film ini. Saya bukan Kartini, dan dipingit hingga tidak boleh pergi kemana-mana. Tapi jujur saya merasa sepanjang film ini bener-bener 'relatable', kena banget ke saya.

Dan menurut pandangan saya, akting pemainnya pun meyakinkan. Saya belum pernah mengidolakan aktris Indonesia, jadi saya tidak membanding-bandingkan dan mungkin saya juga bukan ahli di bidang seni peran tapi yang pasti sebagai penikmat saya menikmati film ini, Dian Sastro cukup memukau bagi saya. Tidak ada hal-hal yang dipaksakan dari aktor/aktrisnya, dan pengambilan gambarnya menarik...yah cukup aesthetic lah, bagi saya pas sekali menggambarkan nuansa Jawa Tengah kala itu. Make up pemainnya juga menurut saya bagus, wajar orang Jawa dibuat sedikit gelap karamel kulitnya bukan dibikin putih bersih seperti standar kecantikan masa sekarang...dari film ini pun saya semakin yakin, orang Jawa yang memang kulitnya cocok gelap begitu, manis. Cuma memang saya tahu pemainnya rata-rata bukan pengguna bahasa Jawa, saya tahu mereka semua sudah berusaha, tapi tetap saja bahasa Jawanya sedikit canggung (maaf!).

Nah jadi apa yang bikin malu dari film ini? 

Yah yang bikin malu, ya...saya malu sama diri saya sendiri. Saya merasa sangat terkoneksi dengan film ini, saya suka menulis (yah tulisan suka-suka sih, dan udah hampir ngga pernah nulis lagi 6bulan ini kecuali caption online shop, caption instagram pribadi, sama nulis pesanan kalo lagi di restoran. Diari pun baru jalan lagi awal Agustus kemarin), saya juga punya impian yang (yang menurut saya) besar , saya juga pengen lepas bebas terbang dari tempat dimana saya berada sekarang, dan saya juga sedang ada isu dengan melepas masa lajang di usia segini, berikut dengan masalah poligami. SAMA seperti Kartini masa itu dan Kartini di film itu.

Mungkin bedanya...Kartini tahu apa yang harus dia lakukan, dan beliau melakukannya tanpa banyak rencana, tanpa disadari...jadi beliau punya alasan yang jelas.
Dibanding saya, saya ngga tahu harus ngapain, saya terlalu banyak rencana, dengan alasan saya ga bisa jalan sendiri...dan alasan saya pun kebanyakan ngga bisa diterima orang.
Padahal Kartini berada di masa yang sangat-sangat serba terbatas, semuanya masih offline. Beliau juga saat itu pasti lebih muda dari saya, dan lebih tidak mobile dibanding saya.

Saya malu sekali, cuma bisa terharu sepanjang film itu diputar...ntah kenapa saya merasa itu adalah salah satu berkah hari Jumat buat saya.

Saya tidak menjamin anda akan suka film itu sama seperti saya, karena keadaaan kita berbeda-beda...Tapi ngga ada salahnya kok untuk mencoba nonton film tersebut, siapa tahu anda menemukan celah lain keindahan film tersebut.

dari saya yang sedang berusaha istiqomah nge blog lagi
S


Epilog:

Jujur saja, saya tahu Kartini ya seseorang yang memperjuangkan supaya pria dan wanita bisa 'sederajat'. Pengetahuan saya tentang beliau sama seperti anak-anak Indonesia awam kebanyakan, tapi suatu hari saya baca sebuah buku yang sedikit 'berbeda' yang mengisahkan tentang beliau, buku yang menarik karena saya suka 'rahasia'. Saya jadi punya pandangan lain tentang beliau. 

Ada yang bilang, pejuang supaya wanita bisa sekolah itu bukan cuma beliau. Ibu Dewi Sartika misalnya, yang sebenernya lahir lebih dulu dari Ibu Kartini dan juga lebih dulu mendirikan sekolah untuk perempuan. Bahkan sampai ada yang nggondok, kenapa sih beliau yang dibuat film. Apa ini adalah bentuk lanjutan dari proganda penjajah kala itu, karena memang poin plus dari Ibu Kartini ini adalah beliau dekat dengan kaum penjajah dan mereka sangat mengapresiasi beliau jadi seolah-olah ada hubungan timbal balik antar keduanya. Tapi terlepas dari itu, harusnya kita ngga usah ribut juga sih, kenapa tidak meneladani beliau toh Kartini juga orang Indonesia yang berjasa. 

Soal kesetaraan gender, yang di gambarkan di film Kartini 2017 dan yang terjadi di masa sekarang ini. Saya punya pandangan yang berbeda sih. Seolah-olah memang perempuan itu rendah, dan lebih lemah. Tapi menurut saya bukan seperti itu, perempuan itu bukan (sedang) dikekang tapi malah sedang dimuliakan. Dalam keyakinan saya, idealnya seperti itu. Kisah Rasul, keluarga, dan para sahabatnya pun menggambarkan seperti itu. Hanya saja manusia memang makhluk paling sempurna, yang suka berpikir berlebihan dan merasa lebih pintar dari sesamanya, bahkan terkadang merasa lebih pintar dari yang Diatas (Naudzubillah). Saya juga ngga sempurna, dan bukan seseorang yang 'cewek banget' dan 'baik-baik banget'. Tapi satu hal, saya percaya wanita lebih mulia dari pria (maaf ya bapak-bapak) karena junjungan saya berkata seperti itu, dan itu masuk akal. 

Dan soal budaya kebarat-baratan, saya rasa tidak salah jika Kartini (dan adik-adiknya) di film itu kesal dengan budaya yang ada. Tapi menyikapi itu saya merasa budaya kita sebenarnya cantik dan anggun sekali. Di masa sekarang sih, wajib bagi kita untuk bisa 'think locally, and act globally'. Intinya sudah tidak jamannya lagi kita menjadi skeptis, dan main menghakimi ini itu padahal info yang kita dapat juga tidak banyak, tidak mungkin kita tahu segalanya kan. Jadi ya kita pilah-pilah aja mana yang baik dan buruk, jangan sampai masuk perangkap setan. Dan jangan sombong...

Terakhir, sedikit dari buku yang saya baca tentang Ibu Kartini. Satu-satunya buku yang saya baca tentang beliau. Ada bagian yang mengisahkan, Kartini sempat membeci pelajaran mengaji karena bagi beliau pelajaran itu membosankan dan buat apa kita membaca sesuatu tanpa paham maknanya. Sampai suatu hari 'hidayah' itu datang, dan beliau malah suka mengaji setelah tau betapa indah dan dalamnya ayat-ayat suci itu. Kisah ini pun sedikit di gambarkan di film Kartini (2017). Tapi dalam buku itu, kisah itu terjadi tak lama sebelum beliau menikah dan akhirnya wafat, jadi saya sedikit sedih jika saja beliau lebih cepat diberi hidayah, mungkin suara beliau bisa lebih banyak terpengaruh oleh ayat-ayat suci tersebut. Tapi saya pun tidak yakin akan kemungkinan itu, karena lagi-lagi sudah ada sentuhan propaganda di kisah beliau. 

Yasudah daripada saya tulis lebih banyak lagi yang tidak-tidak saya akhiri saja yah....

2 comments:

  1. i should really start watching this
    i have no time ;;

    ReplyDelete
  2. Ria, setelah aku nonton film kartini ini, aku juga berpikiran sama kayak km. Di jamannya kartini yg masih 'terbatas' tapi bisa membuat sesuatu yang besar. Sedangkan jaman kita yg sudah enak, kok kayaknya ya gini-gini aja :')

    ReplyDelete

I love to share and hear feedbacks, please put some comment *even it's just one letter* ^^ // satu komentar sangat berarti, meskipun cuma satu huruf ^^